Bagi masyarakat mayoritas kulit hitam Afrika Selatan, Piala Dunia 2010
telah usai setelah Bafana Bafana gagal mencapai babak kedua. Namun bagi
sebagian populasi Afrikaner, Piala Dunia baru akan berakhir setelah
final Belanda-Spanyol.
Anja Bredell, mahasiswa design fashion berusia 25 tahun asal Pretoria,
mengatakan dirinya akan hadir stadion untuk mendukung Belanda. Namun
Greta Bredell, seorang copywriter yang juga berasal dari Pretoria,
mengatakan; "Saya ingin Spanyol menang. Saya tidak menyukai Belanda."
Tidak diketahui apa hubungan kedua Bredell ini. Yang pasti keduanya
adalah Afrikaner, populasi keturunan Belanda. Nenek moyang mereka
bermukim di Afsel sejak Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
mendirikan permukiman pertama di Cape Town tahun 1652.
Pemukim inilah yang menciptakan budaya Afrikaans. Ketika lebih banyak
imigran Belanda datang ke Western Cape pada tahun-tahun berikutnya,
mereka menjadi mapan sebagai Afrikans. Sampai saat ini Cape Town masih
menjadi rumah bagi sebagian besar Afrikans.
Anja merasa masih memiliki hubungan yang kuat dengan nenek moyangnya,
karena mewarisi fisik khas Belanda. "Anda lihat kan mata saya biru,
rambut pirang, dan kulit cerah," ujarnya.
Senada dengan Anja, Pieter Seyffert -- pembalap sepeda profesional
berusia 24 tahun asal Johannesburg -- masih merasa bagian dari Belanda.
Ia mengaku tidak bisa mengingkari asal-usulnya.
"Kami, masyarakat Afrikaner, mungkin lebih dekat ke tim Belanda
dibanding tim mana pun," ujar Seyffert. "Bahkan, kami sama sekali tida
mendukung tim Afrika Selatan."
Selain hubungan budaya leluhur antara Afrikan dan Belanda, dua
masyarakat ini juga relatif menggunakan bahasa yang sama. Namun Afrikans
berbicara Bahasa Belanda dengan dialek Afrikaans, yang membedakan
mereka dari orang-orang di Amsterdam.
Judith Visser -- pelajar berusia 21 tahun dari Vanderbijlpark, sebelah
selatan Johannesburg -- mengatakan setengah dari keluarganya pasti
mendukung Belanda dengan alasan asal-usul, tapi setengah lainnya mungkin
tidak.
Setelah migran Belanda -- yang dikenal dengan sebutan Boers --
menciptakan permukiman di banyak tempat di Afsel, orang-orang Inggris
datang. Terjadi persaingan sengit, sampai akhirnya pecat perang
Anglo-Boers 1899-1902.
Inggris memenangkan perang itu, tapi Afrikaner -- kebanyakan miskin dan
petani tak berpendidikan -- tetap bermukim dan tumbuh menjadi besar.
Hubungan Afrikaner-Belanda juga berkaitan dengan pertarungan menegakan
demokrasi dan persamaan hak di Afsel. Belanda adalah penentang keras
kebijakan Apartheid.
Antara 1948 sampai 1994, Afrikaner mendominasi pemerintahan yang
menjalankan politik segregasi. Mereka memaksa penduduk kulit hitam
tinggal di pinggir kota, dan kulit putih menguasai kota.
Greta punya untuk tidak mendukung timnas Belanda. Sebagai orang yang
pernah menikmati masa keemasan politik Apartheid, Greta melihat Belanda
sebagai leluhur tak disukai.
Sikap Greta juga mulai menular ke generasi muda Afrikaner saat ini.
Karin van Rooyen, misalnya, menolak belajar Bahasa Belanda dan lebih
suka mengambil kelas Bahasa Inggris di sekolahnya. Ia merasa telah
terpisah dari akar leluhurnya.
"Saya tidak peduli dengan kaitan bahasa antara Afrikaner dengan
Belanda," ujar pelajar dari Witbank itu. "Tapi jika Belanda menjadi
juara dunia, ya saya senang-senang saja."
David Maree, rekan Seyffert, punya alasan lain untuk tidak mendukung
Belanda atau Spanyol. Menurutnya, Afrikans lebih menyukai rugby daripada
sepakbola.
"Kami baru menyaksikan sepakbola dalam dua bulan ini saja," ujar Maree.
"Kami tidak peduli siapa yang akan juara, karena kami hanya fokus pada
tradisi."
Keterangan:
Apartheid (arti dari
bahasa Afrikaans:
apart memisah,
heid
sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan
ras yang
diterapkan oleh pemerintah
kulit
putih di
Afrika Selatan dari sekitar awal
abad
ke-20 hingga tahun
1990.
Hukum apartheid dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada
tahun
1930-an
dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni
Inggris
di
Cape
Town dan
Namibia dan para
Afrikaner Boer (Petani
Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan
bagian timur atau disebut
Transvaal
(sekarang kota
Pretoria dan
Johannesburg).
Setelah
Perang Boer selesai, penemuan
emas terjadi
di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba
menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di
antara mereka, dan membentuk
Persatuan
Afrika Selatan.
Perdana Menteri
Hendrik
Verwoerd pada tahun
1950-an mulai mencanangkan sistem pemisahan di
antara bangsa berkulit hitam, dan bangsa berkulit putih, yang sebenarnya
sudah terjadi sejak tahun 1913 yaitu "Land Act" dimana para bangsa
kulit hitam tidak boleh memiliki tanah semeter pun di luar batas
"Homeland" mereka, yang sangat kotor dan tidak terawat. Dari banyak
sekali
Homeland (
bahasa Afrikaans:
Tuisland) yang dibentuk/
dipisahkan dari Afrika Selatan yang "putih". Empat menyatakan
kemerdekaannya; yaitu negara yang dikelompokkan menjadi TBVC (
Transkei,
Bophutatswana,
Venda, dan
Ciskei) dari
suku bahasanya.
Frederik Willem de Klerk adalah
orang yang mengakhiri masa suram ini dengan pidato-pidatonya yang
reformatif. Negara Republik Afrika Selatan setelahnya ini akan berdiri
dengan pimpinan demokratis
Nelson Mandela yang mempunyai nama alias "Rolitlatla"
(Pengambil Ranting/pencari gara-gara).
(Wikipedia)