Republik Lanfang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ibukota | Dong Wan Li 東万律 (Mandor) |
Tahun didirikan | 1777 |
Tahun diruntuhkan | 1884 |
Presiden (pertama) | Low Lan Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) |
Wilayah sekarang | Kalimantan Barat |
Republik Lanfang (Hanzi tradisional: 蘭芳共和國, Hanyu Pinyin: Lánfāng Gònghéguó) adalah sebuah negara Hakka di Kalimantan Barat, Indonesia yang didirikan oleh Low Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun 1777, sampai akhirnya dihancurkan oleh Belanda di tahun 1884.
Sejarah Kedatangan Orang-orang Cina di Kalimantan Barat
Sejarah Kongsi
Kongsi adalah perkumpulan pertambangan Cina di wilayah barat Pulau
Borneo / Kalimantan. Pertambangan-pertambangan yang dikerjakan oleh
orang-orang Cina ini adalah tambang-tambang emas yang tersebar di
pesisir utara Wilayah Kalimantan sebelah barat ini. Sebagian besar
tambang-tambang emas itu berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas.
Orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas itu pertama kali
datang ke wilayah Kalimantan Barat ini adalah pada tahun 1740 M yang
didatangkan oleh Raja Panembahan Mempawah yaitu Opu Daeng Manambung.
Kemudian pada sekitar tahun 1750 M Sultan Sambas ke-4 yaitu Sultan
Abubakar Kamaluddin juga mendatangkan orang-orang Cina untuk pertama
kali wilayah Kesultanan Sambas untuk mengerjakan tambang-tambang emas
di wilayah Kesultanan Sambas yaitu di daerah Montraduk, Seminis dan
Lara. Dalam hal ini status orang-orang Cina ini adalah pekerja-pekerja
tambang yang bekerja pada Sultan Sambas. Sebagian hasil tambang itu
disisihkan untuk upah para pekerja tambang emas itu dan sebagian lagi
adalah merupakan penghasilan bagi Kesultanan Sambas sebagai pemilik
negeri.
Seiring dengan semakin berkembangnya kegiatan pertambangan emas di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas, pada sekitar tahun 1764
M terjadi gelombang besar-besaran orang-orang Cina yang didatangkan
oleh Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II ke wilayah
Kesultanan Sambas menyusul begitu banyaknya ditemukan tambang-tambang
emas baru di wilayah kekuasaan Kesultanan Sambas ini.
Pada sekitar tahun 1767 M jumlah orang-orang Cina yang mengerjakan tambang-tambang emas di wilayah barat Pulau Kalimantan ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas sudah mencapai hingga belasan ribu orang.
Karena jumlah orang-orang Cina yang semakin besar ini dan mereka
berkelompok-kelompok berdasarkan wilayah pertambangan masing-masing,
maka pada sekitar tahun 1768
M, kelompok-kelompok ini kemudian mendirikan semacam perkumpulan usaha
tambang masing-masing yang disebut dengan nama Kongsi. Kongsi-kongsi
ini (yang saat itu berjumlah sekitar 8 Kongsi) menyatakan tunduk kepada
Sultan Sambas namun Kongsi-kongsi itu diberi keleluasaan secara
terbatas oleh Sultan Sambas untuk mengatur Kongsinya sendiri seperti
pengangkatan pemimpin Kongsi dan pengaturan kegiatan pertambangan
masing-masing. Sedangkan mengenai hasil tambang emas, disepakati bahwa
Kongsi-kongsi berkewajiban secara rutin menyisihkan sebagian hasil
tambang emas mereka untuk diserahkan kepada Sultan Sambas bagi
penghasilan Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Pada saat itu Sultan
Sambas menerima bagi hasil dari Kongsi-Kongsi Cina itu sebanyak 1 kg
emas murni setiap bulannya, belum termasuk penerimaan oleh
Pangeran-Pangeran penting di Kesultanan Sambas dari Kongsi-kongsi itu.
Pada tahun 1770
M mulai timbul semacam pembangkangan dari kongsi-kongsi Cina yang ada
di wilayah Kesultanan Sambas ini terhadap Sultan Sambas. Pembakangan
ini berupa penolakan mereka untuk memberikan sebagian hasil tambang
emas kepada Sultan Sambas yaitu sebesar 1 kg emas murni setiap
bulannya. Para kongsi itu hanya bersedia memberikan bagi hasil tambang
emas sebesar setengah kg atau separuh dari kesepakatan sebelumnya
padahal saat itu kegiatan pertambangan emas di wilayah Kesultanan Sambas ini semakin berkembang.
Hal ini kemudian membuat Sultan Sambas marah apalagi kemudian
terjadi pembunuhan oleh orang-orang Cina Kongsi terhadap
petugas-petugas pengawas Kesultanan Sambas (yang adalah orang-orang
Dayak) yang ditugaskan oleh Sultan Sambas untuk mengawasi kegiatan
tambang emas Kongsi itu, sehingga kemudian Sultan Sambas saat itu yaitu
Sultan Umar Aqamaddin II mengirimkan pasukan Kesultanan Sambas menuju
daerah kongsi-kongsi yang melakukan makar dan pembakangan itu. Setelah
gerakan pasukan Kesultanan Sambas telah berlangsung selama sekitar 8
hari dan belum sempat terjadi pertempuran besar antara pasukan
Kesultanan Sambas dengan pihak kongsi, kemudian pihak kongsi itu
ketakutan hingga kemudian mengakui kesalahannya dan bersedia untuk
tetap membayar bagi hasil tambang emas kepada Sultan Sambas sesuai
dengan kesepakatan sebelumnya yaitu sebesar 1 kg emas setiap bulannya.
Semakin lama jumlah Kongsi yang ada semakin bertambah dan pada sekitar tahun 1770
M, telah ada sekitar 10 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas dan saat
itu terdapat 2 Kongsi yang terbesar yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi
Lan Fong.
Pada tahun 1774 M terjadi pertempuran antara kedua buah kongsi terbesar di wilayah Kesultanan Sambas
yaitu Kongsi Thai Kong dan Kongsi Lan Fong. Kongsi Thai Kong kemudian
berhasil mengalahkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan Fong bubar.
Kedatangan Lo Fang Pak
Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke
Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan
menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan
akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada usia
sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.
Kedatangan orang-orang Cina dari daratan Cina ini adalah atas
permintaan sultan-sultan Melayu saat itu yang mendatangkan para pekerja
tambang emas dari daratan Cina yaitu untuk melakukan kerja-kerja
tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu
hanya dapat dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang Cina.
Permintaan pekerja tambang dari Cina daratan saat itu merupakan satu
trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai oleh
kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu
di pesisir utara dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu
pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru kemudian disusul oleh
Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau
Kalimantan bagian barat.
Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama
mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina adalah Panembahan
Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng Manambung yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan atas saran dari Adik Opu Daeng Manambung yaitu Opu Daeng Celak
yang saat itu sedang menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang
telah lebih dahulu mendatangkan pekerja dari Cina daratan untuk tambang
timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun demikian saat
itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang Cina untuk pekerja
tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para
pakar mencari emas) yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.
Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh
orang-orang Cina yaitu di daerah Mandor yang saat itu merupakan wilayah
Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun mengerjakan tambang emas di
Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian
mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir
banyak mengandung emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari
Kesultanan Sambas
yaitu daerah yang bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja
tambang emas Cina ini menghadap Sultan Sambas mengenai potensi emas di
Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas kemudian
mengijinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang
Cina dengan syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk
pekerja tambang dari Cina ini dan sebagian hasil yang lain adalah untuk
Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Maka kemudian dibukalah tambang
emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M yaitu tambang emas kedua
setelah di Mandor.
Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas
ini sangat melimpah ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi
tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang semuanya di wilayah
Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan.
Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin
melimpah ke wilayah Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah
Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian keluarga,
sekampung halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar
tahun 1770 M telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina
pekerja tambang emas di wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 %
dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah berada di wilayah
Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.
Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China
yang bernama Lo Fong Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.
Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan
Barat ini yaitu 12 Kongsi di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di
Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah Panembahan Mempawah yang
berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang bernama Hee
Soon yaitu untuk memperkuat persatuan diantara mereka dari ancaman
pertempuran antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara
Kongsi Thai Kong dan Lan Fong di tahun 1774 M yang lalu. Salah satu
dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo
Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.
Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan
lokasi Kongsi Lan Fong ke lokasi lain dimana lokasi Kongsi Lan Fong
yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas tetapi adalah di
wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).
Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon,
Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan tunduk dibawah Sultan Sambas dan
Panembahan Mempawah dimana 12 Kongsi tunduk dibawah naungan Sultan
Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun
Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan
mengatur pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi
tambangnya (semacam daerah otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan
orang-orang Hakka yang ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang
bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah Mandor saat itu juga
terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio
Ciu, berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayah Kesultanan Sambas yang seluruhnya adalah dari Suku Hakka / Khek).
Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah
Muara Sungai Landak dimana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya
Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada tahun 1771 M) yang
terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat
dirinya menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. Berdirinya Kesultanan Pontianak
di Muara Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja
Kerajaan Landak karena secara historis wilayah muara Sungai Landak
adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak. Namun VOC Belanda
karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini
kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja
Landak mengendurkan protes kerasnya.
Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit
banyak membuat Kongsi Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara
sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian membuat Lo Fong Pak
lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan
Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari
Panembahan Mempawah.
Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda
melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut
wilayah Panembahan Mempawah. Untuk mendukung serangan ini Sultan
Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong untuk
ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan
Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan
Pontianak. Menghadapi serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang
kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu mengundurkan dirinya ke daerah
Karangan dan kemudian menetap disana.
Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan
Pontianak menjadi semakin kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak
(Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang lebih luas lagi (semacam
daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57 tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.
Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman
sekarang ini adalah sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih
melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi. Karena cara pemilihan
ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong
Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan
J.J. Groot (sejarawan Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di
interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang diartikan adalah
"Republik Lan Fang" padahal didalam kedua-dua tulisan itu tidak ada
kata Republik. Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi
suatu negara / wilayah yang merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat
walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap berada dibawah
naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara
merdeka. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang"
itu tidak pernah ada, yang ada adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat
status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.
Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum
untuk menjabat sebagai Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi
gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung Chang" atau Kepala Daerah
Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua dan
Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa
Hakka.
Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi)
dipilih melalui pemilihan umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun
Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka yang berasal dari daerah
Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna
kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi".
Bendera Lo Fong Pak (Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk
segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal). Para pejabat tingginya
memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang
lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut
mencapai keberhasilan besar dalam ekonomi dan stabilitas keamanan
selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.
Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya
sebuah tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja
sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya sendiri,
setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu)
untuk berdagang. Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong
sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka membayar upeti kepada
Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).
Kejatuhan Lan Fong Kongsi
Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya
Daerah Otonomi Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan
lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya Kongsi Lan Fong
tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er
(Hakka: Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di
Indonesia dan menduduki wilayah tenggara Kalimantan. Liu Tai Er
terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk menandatangani
kesepakatan kerjasama dengan Belanda. Penandatanganan kesepakatan
tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong dalam pengaruh Belanda.
Munculnya pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan Kongsi Lan
Fang. Kongsi Lan Fang kemudian kehilangan otonomi dan beralih dari
daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah daerah
protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di
Pontianak dan mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong.
Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk
menolak diperintah oleh Belanda, sehingga Kongsi Tahi Kong diserang
oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai Kong Kongsi, namun kongsi
tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi Thai
Kong terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong
sehingga Kongsi Lan Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan
Belanda, menyusul kematian Liu Asheng (Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi
Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong kemudian
mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari
pemerintahan Qing, Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong
sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang keturunan mereka menjadi
pemimpin boneka.
Daftar Ketua Kongsi Lanfang
Daftar Ketua Kongsi yang pernah memimpin Daerah Otonomi Kongsi Lanfang (1777 - 1793 ) dan Daerah Otonomi Khusus Kongsi Lanfang dari tahun 1793 - 1884.
Nama Ketua Kongsi | Periode | Keterangan |
---|---|---|
Lo Fangpak | 1777-1795 | Pendiri Kongsi Lanfang di Mandor pada tahun 1777 |
Kong Meupak | 1795-1799 | Perang dengan Panembahan Mempawah |
Jak Sipak | 1799-1803 | Konflik dengan orang Dayak dari Landak |
Kong Meupak | 1803-1811 | |
Sung Chiappak | 1811-1823 | Ekspansi tambang di Landak |
Liu Thoinyi | 1823-1837 | Sudah di bawah pengaruh kolonial Belanda |
Ku Liukpak | 1837-1842 | Konflik dengan Panembahan Landak dan kemerosotan kongsi |
Chia Kuifong | 1842-1843 | |
Yap Thinfui | 1843-1845 | |
Liu Konsin | 1845-1848 | Pertempuran dengan orang Dayak dari Landak |
Liu Asin | 1848-1876 | Ekspansi tambang ke kawasan Landak |
Liu Liongkon | 1876-1880 | |
Liu Asin | 1880-1884 | Kejatuhan Lanfang Kongsi pada tahun 1884 |
No comments:
Post a Comment