Sebelum ada TNI, sejak pra kemerdekaan hingga kemerdekaan,
komponen-komponen pejuang terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu
Hisbullah, Peta (Pembela Tanah Air) dan Laskar-laskar.
Milisi Hisbullah merupakan campuran berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, dan NU.
Sedangkan milisi Peta (Pembela Tanah Air) mayoritasnya berasal dari
Muhammadiyah, dimana Jenderal Besar Sudirman merupakan salah satu
tokohnya.
Yang dimaksud dengan laskar-laskar, terdiri dari berbagai laskar
seperti laskar minyak, laskar listrik, laskar pesindu, laskar pemuda
sosialis dan laskar Kristen.Umat Islam dan TNI
Laskar pemuda sosialis dan laskar kristen adalah minoritas. Sedangkan
laskar minyak, listrik dan sejenisnya berasal dari komunitas sejenis
bajing loncat yang insyaf dan membentuk kekuatan rakyat dan bergabung
dengan Laskar mayoritas Hisbullah.
Pada 1946 terbentuk TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) yang berasal dari
ketiga komponen tersebut, dan Hisbullah merupakan unsur yang paling
banyak (mayoritas).
Pada 1947, TKR menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), di bawah
pimpinan Panglima Besar Sudirman yang berasal dari Peta. Sebagai
wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang mantan tentara KNIL (tentara
Belanda) yang beragama Kristen.
Sejak saat itulah terjadi ketidak-adilan, dimana minoritas menguasai
mayoritas di tubuh (embrio) TNI. Kelak, para pejuang sejati dari
Hisbullah dan peta (terutama Hisbullah) digusur oleh mantan tentara
KNIL. Selain Urip Sumohardjo (mantan KNIL beragama Kristen), mantan
KNIL lainnya adalah Gatot Soebroto (Budha), Soeharto (Kejawen), dan
A.H. Nasution (nasionalis sekuler yang keberislamannya tumbuh setelah
digusur Soeharto).
Tentara KNIL adalah tentara Belanda yang memerangi tentara rakyat
Indonesia yang ketika itu sedang berusaha menggapai kemerdekaan.
Tentara KNIL adalah pengkhianat bangsa. Namun ketika Indonesia merdeka,
merekalah yang merebut banyak posisi di tubuh institusi tentara (TNI).
Sedangkan pejuang sejati terutama yang tergabung dalam Hisbullah
disingkirkan begitu saja.
Terbukti kemudian, ketika para pengkhianat itu memimpin bangsa ,
kehidupan kita menjadi penuh musibah. Soekarno, ketika rakyat bersusah
payah mengusir penjajah, ia justru membuat perjanjian damai dengan
Belanda. Sedangkan anak angkat Gatot Soebroto termasuk salah seorang
tokoh pemegang HPH yang menggunduli hutan kita.
Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi)
dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat
itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di
Banjarmasin. Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang
berpusat di Bali.
Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus
berjuang melawan penjajah Belanda.Pada 17 Januari tahun 1948, ketika
terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang
dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus
dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka
timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi
mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka
baru saja kembali dari Yogyakarta.
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan
Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap
pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo,
tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan
fakta sejarah.
“Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah
buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan
Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan
isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani
mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana
adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat
dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut
dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan
Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai
kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan
tentara republik tersebut…” (Lihat Buku “FAKTA Diskriminasi Rezim
Soeharto Terhadap Umat Islam”, 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar:
“Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji
Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat,
tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis
sekarang…“
Pada buku berjudul “Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo” (Juli
1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
“…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan
Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus
‘hijrah’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai
Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia.
Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di
Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang
Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu….“
“…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman:
‘Apakah siasat ini tidak merugikan kita?’ Pak Dirman menjawab, ‘Saya
telah menempatkan orang kita disana‘, seperti apa yang diceritakan oleh
wartawan Antara itu kepada penulis.
“…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan
mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah
buku kecil berjudul ‘Himbauan’, yang ditulis beliau pada tanggal 7
September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah
mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…“
“…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta
pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo)
pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu
seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di
atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud ‘orang kita’
atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri.
Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting
dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari
menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri
Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau
sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar
Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang
menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah
banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim
Adji! Apakah itu bukan dosa…?”
Terbentuknya Kodam-kodam
Tahun 1950, TRI mereorganisasi membentuk divisi-divisi dalam bentuk TT
(Tentara Teritorium yang merupakan embrio Kodam. Ini merupakan awal
daripada AD (Angkatan Darat) dan PKI (Partai Komunis Indonesia)
berkuasa menguasai TRI melalui kodam-kodam (divisi-divisi).
Kala itu provinsi di Ind masih terdiri dari
1. Kalimantan, dengan ibukota Banjarmasin
2. Sulawesi,dengan ibukota Makassar
3. Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang
4. Sumatera Tengah, dengan ibukota Padang
5. Aceh, dengan ibukota Banda Aceh
6. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), dengan ibukota Singaraja.
Pada Desember 1950 terjadi pengakuan kedaulatan RI. Dua bulan kemudian
Jen. Sudirman meninggal, kepemimpinannya dilanjutkan oleh Urip
Sumohardjo mantan tentara KNIL beragama Kristen. Sementara itu,
Panglima Divisi Sulawesi, Kahar Muzakar yang ditugaskan ke Yogya utk
menghimpun kekuatan rakyat di tahun 1946, jabatannya sebagai Panglima
Divisi Sulawesi diisi oleh Gatot Subroto mantan KNIL beragama Budha
yang anti Hisbullah.
Terjadi konflik antara Kahar dengan Gatot Subroto, sehingga diciptakan
situasi yang merugikan/merusak citra Kahar (putra daerah), akibatnya
Kahar melawan ketidakdilan dan ketidak benaran yang dihembuskan Gatot
Subroto.
Tahun 59/60 Kahar dinyatakan terbunuh dalam pertempuran, tetapi
jenazahnya tidak ditemukan. M. Jusuf pernah dikirim melawan Kahar,
mengalami kekalahan namun bisa selamat kembali ke Jakarta.
Tidak semua divisi mengalami pergolakan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu
Hadjar menjadi Panglima KRJT (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas).
Institusi ini di bawah Panglima Divisi kalimantan yang panglimanya
adalah Hasan Basri. Sedangkan Divisi Jawa Timur panglimanya adalah Jen.
Sudirman (sebelum meninggal dunia).
Ketidak-adilan di dalam tubuh TRI semakin terasa ketika orang-orang
dari Sulut yang beragama Kristen (dan mantan tentara KNIL) banyak
menduduki jabatan penting, antara lain Kol. Kawilarang (menjabat
panglima divisi Siliwangi), Kol. Ventje Sumual, dan sebagainya.
Apalagi kemudian AD memegang kendali pemerintahan, setelah Soekarno
tumbang. Soeharto yang mantan KNIL dan penganut Kejawen, kemudian
mengawali pemerintahannya dengan rasa benci yang mendalam terhadap
Islam.
Sebelum era Benny Moerdani, Soeharto menempatkan orang-orangnya seperti
Panggabean, Soedomo dan Ali Moertopo yang dengan baik memenuhi kemauan
Soeharto.
Ali Moertopo sukses dengan proyek Komando Jihad. Kemudian Soedomo juga
sukses dengan Kopkamtibnya “ngegebukin” umat Islam. Benny Moerdani
sukses dengan proyek Imran/Woyla dan Tanjung Priok. Try Soetrisno
sukses dengan proyek Lampung dan DOM Aceh, juga beberapa kasus seperti
Haur Koneng, dan sebagainya.
Jenderal M. Jusuf (orang Makasar) sempat didudukkan sebagai Pangab,
sebelum Benny. Ketika itu tekanan terhadap Islam agak mereda, perlakuan
ala binatang terhadap Tapol dan Napol Islam, agak berkurang ketika
Yusuf menjadi Pangab. Kesejahteraan prajurit pun membaik. Namun tidak
banyak yang bisa ia lakukan. Meski dari Makasar ternyata Yusuf tidak
semilitan Katholik abangan seperti Benny.
Di masa Benny, betapa sulitnya mendapatkan perwira Muslim yang menjabat
Komandan Kodim. Semuanya Kristen, hanya satu-dua saja yang Budha atau
Hindu. Pada umumnya Dandim adalah perwira Kopassandha (kini Kopassus).
Untuk menjadi perwira Kopassandha, rangkaian testing dilakukan hari
Jumat, sehingga prajurit yang masih loyal kepada agamanya, tidak bisa
ikut test. Akibatnya, dari puluhan perwira Kopassandha kala itu, hanya
satu yang Islam (abangan), dan satu Hindu atau Budha.
Penyingkiran secara sistematis ini sudah berlangsung sejak Panggabean,
yang meneruskan tradisi Urip Soemohardjo dan Gatot Soebroto, sejak awal
kemerdekaan terutama sejak wafatnya Jen. Soedirman.
Namun demikian untuk menghindarkan kesan diskriminatif, Benny merekrut
juga pemuda-pemuda Islam menjadi tentara (bukan perwira Kopassandha).
Tapi yang ia pilih yang tolol-tolol. Kalau ada pemuda Islam dari
keluarga baik-baik (militan) kemudian cerdas, pasti dinyatakan tidak
lulus testing dengan berbagai macam alasan.
Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar dikirim ke
Timor Timur untuk menyetorkan nyawa. Ada diantara mereka yang selamat,
seperti Ratono yang pernah terlibat kasus Priok. Ratono sampai kini
masih hidup semata-mata karena keberuntungan, atau setidaknya Allah
jadikan ia sebagai saksi hidup kebiadaban Benny dan para pendahulunya.
Tahun 1988 perseteruan Benny – Soeharto meruncing, terutama setelah
rencana kudeta yang gagal dari Benny cs terhadap Soeharto, yang
berakibat dicopotnya Benny dari jabatan Pangab dan digantikan Try.
Ketika Try menjabat Pangab (1989), Benny Moerdani kemudian menjabat
Menhankam. Anehnya, Try masih melapor kepada Benny, padahal seharusnya
ke presiden sebagai Pangti. Termasuk, laporan intelijen (ketika itu
BAIS masih di bawah Pangab) Try Soetrisno selalu meneruskannya ke Benny.
Tahun 1992 Try dipensiunkan dan menduduki kursi Wapres berkat usaha
gigih kalangan AD. Ketika itu sebenarnya Soeharto lebih condong ke
Habibie, namun berkat fait accomply Harsudiono Hartas yang ketika itu
menjabat Kassospol ABRI, akhirnya Try-lah yang baik mendampingi
Soeharto selama lima tahun (hingga 1997).
Kursi Pangab kemudian diisi Eddy Sudrajat. Di masa Eddy inilah tekanan
terhadap ummat Islam yang gencar dilakukan sejak Benny dan Try menjadi
Pangab, agak mengendor. Bahkan kemudian di Mabes berdiri mesjid,
sehingga para perwira dan prajurit bisa shalat Jum’at di Mabes.
Pada masa itu, Eddy Sudrajat sempat menjabat tiga jabatan sekaligus.
Selain masih menjabat KASAD dan Panglima ABRI ia pun dilantik sebagai
Menhankam. Semua jabatan itu satu per satu dilepaskan, kecuali
Menhankam. Jabatan KASAD dilimpahkan ke Wismojo dan Panglima ABRI
kepada Feisal Tanjung.
Di masa Feisal Tanjung, ummat Islam bisa bernafas lega. Tapol dan Napol
banyak yang dibebaskan, meski masih terkesan takut-takut. Bahaya
ekstrim kanan yang selalu dihembuskan sejak dulu, sirna dengan
sendirinya. Bahkan, lulusan pesantren bisa masuk AKABRI ya cuma di masa
Feisal Tanjung.
Sayangnya Feisal bersama Syarwan Hamid dituduh terlibat kasus 27 Juli,
yang sebagian besar korbannya ya ummat Islam juga. Pada masa inilah
muncul istilah ABRI hijau dengan konotasi negatif.
Setelah Feisal, Wiranto mendapat giliran menjadi Pangab. Wiranto semula
adalah kader Benny. Karenanya, ketika ia naik menjadi KASAD kemudian
Pangab, banyak juga yang waswas. Ketika Wiranto menjadi KASAD, perwira
Muslim di lingkungan KASAD digeser dan digantikan dengan Hindu atau
Budha.
Untung ada Prabowo. Sebenarnya Prabowo juga kader Benny, bahkan sejak
ia masih Letnan. Namun akhirnya Prabowo melihat ketidak-adilan yang
dibuat Benny, dan ia memberontak, sehingga jadilah Prabowo sebagai
musuh nomor satu Benny. Kalau tidak ada Prabowo, mungkin sampai kini
tidak ada yang bisa menjadi musuh Benny. Selain karena ia menantu
Presiden, Prabowo juga banyak uang sehingga bisa menetralisir pengaruh
“orang-orang Benny” di tubuh ABRI.
Meski Bowo jarang shalat, ia tetap saja dikategorikan sebagai ABRI
hijau, mungkin karena keberpihakannya. Berkat tekanan dari Prabowo dkk
akhirnya Wiranto tak berkutik. Bahkan belakangan ia ikut-ikutan menjadi
ABRI hijau. Sebuah pilihan yang pragmatis.
Wiranto akhirnya bisa juga berteman dengan Abdul Qadir Djaelani, dan
sebagainya. Dari sinilah lahir istilah aneh-aneh, seperti Pam Swakarsa,
dan sebagainya, yang kesemuanya itu cuma membuat malu umat Islam.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa sejak dulu yang namanya tentara
itu lebih banyak merugikan Islam. Kalau tidak memusuhi secara
terang-terangan, maka ia berbaik-baik sambil memberikan stigma.
Seharusnya ummat Islam menjaga jarak yang pas dengan tentara. Jangan
mau digebukin tetapi juga jangan sampai ditunggangi dengan alasan kerja
sama sinergis.
Sialnya, masih ada saja diantara umat Islam yang mau ditunggangi
tentara padahal dulu mereka sering digebukin. Rasanya, kemiskinanlah
yang membuat mereka seperti itu. ( M. Umar Alkatiri )
[sumber:swaramuslim]
Sunday, 14 February 2010
Thursday, 11 February 2010
Mengenal Pemimpin Revolusi Islam Iran dari Luar negeri
Kamis, 05 Pebruari
2009
Pin Imam Iran
Tergoncangnya sendi-sendi kekuasaan pemikiran ateisme dan materialisme di dunia modern dan mengalirnyapengaruhnya revolusi Islam yang digulirkan Imam Khomeini mendorong para tokoh dan pemikir dunia untuk berkomentartentang fenomena besar ini, baik figur sang pemimpin maupun revolusi yang dipimpinnya.
Tak
diragukan bahwa ImamKhomeini memiliki
peran yang sangat besar dalam melahirkan revolusi agung di Iran, negara yang
selama puluhan tahun tenggelam dalam
penindasan rezim despotik. Sementara revolusi itu sendiri memiliki makna yang
khas karena dipimpin oleh seorang
figur ulama kharismatik yang pemberani. Hal itu menyadarkan umat manusia bahwa
insan modern tidak dapat
menerima kezaliman dan ketidakadilan. Kemampuan melawan kezaliman dapat
diperoleh berkatbantuan ilahi.
Tak sedikit tokoh dan
pemikir yang meyakini bahwa revolusi Islam Iran yang dipimpin Imam Khomeini
membuka lembaran baru bagi
sejarah dunia Islam bahkan dunia spiritual secara umum. Mereka percaya bahwa
seruan suci yang disampaikan Imam
Khomeini berhasil mengguncang dunia. Pemikiran dan perilakunya, Imam
mengenalkan Islam kepada dunia.
Pengaruh gerakan revolusi Imam Khomeini dirasakan juga di daratan Eropa.
Revolusi Islam Iran
diyakini telah menumbuhkan semangat spiritual dan keagamaan di dunia. Gereja
menemukan spirit baru, dan kehidupan
keagamaan kembali bergairah di Eropa. Jutaan pengikut Kristen menantikan
kedatangan kembali Yesus. Pengaruh
revolusi ini tidak terbatasi pada wilayah Iran. Umat Islam bahkan di wilayah
Asia selatan dan Afrika hingga Balkan dan
Kaukasus diterpa oleh pengaruhnya pula.
Berikut ini adalah
pernyataan dan komentar para tokoh dan pemimpin dunia tentang Imam Khomeini dan
revolusi Islam Iran;
Presiden Kuba Fidel
Castro:
"Revolusi Islam
di Iran adalah peristiwa yang luar biasa. Pengorbanan dan keberanian Anda
sangat menakjubkan. Kalian telah
memberikan pelajaran baik kepada kami tentang pengorbanan, keberanian,
… Pandangan kalian tentang Islam telah
terekspor ke kawasan kami. Kalian telah mengekspor revolusi ke seluruh dunia.
Iran dengan tenaga agamawan dan
rakyatnya memiliki kemampuan yang besar dalam menghadapi semua tipu daya."
Mohammad Hasnein
Heykal, Penulis Terkenal Arab:
"Seakan satu
figur besar penuh pengalaman di era awal Islam terlahir lagi ke dunia dengan
mukjizat. Figur yang memimpin pasukan Ali
setelah kelompok Umawi membantai Ahlul Bait."
Abdollah Widat,
Pemimpin Pemuda Muslim Afrika Selatan;
"Imam Khomeini
bukan hanya milik kalian. Semua bangsa tertindas di selatan Afrika akan
tergetar hatinya ketika mendengar nama
beliau. Dunia hendaknya tahu bahwa Imam Khomeini adalah tumpuan harapan bagi
seluruh bangsa tertindas di
dunia."
Roger Garoudy,
cendekiawan besar Prancis:
"Revolusi Islam
Iran mengenalkan model baru bagi kesempurnaan manusia dan masyarakat. Model ini
sejalan dengan kejiwaan
bangsa-bangsa dunia, dan inilah alasan permusuhan Barat dengan revolusi
ini."
"Ayatolah
Khomeini memberikan makna kepada kehidupan bangsa Iran."
Mufti Al-Azhar:
"Imam Khomeini
adalah sosok muslim sejati. Beliau adalah saudara muslim kami. Muslim meski berbeda
madzhab adalah saudara bagi
muslim yang lain. Mereka akan bergerak bersama Imam Khomeini di bawah panji
Islam yang satu."
Uskup Kapuchi, Uskup
Beitul Maqdis:
"Hati
bangsa-bangsa yang mendamba kebebasan dan mereka yang tertindas bergetar karena
Imam Khomeini. Beliau bukan hanya milik
bangsa Iran tetapi milik semua bangsa tertindas, muslim atau bukan muslim.
Beliau adalah pemimpin penyelamat."
Dr. Mohammad Ali,
dosen Universitas Jibvala Meksiko;
"Imam Khomeini
menunjukkan bahwa negara-negara adi daya bukan pemilik dunia. Alternatif yang
lebih baik dari mereka adalah
Islam."
Promakov, cendekiawan
kenamaan Rusia;
"Ayatollah
Khomeini telah mengubah makna kepemimpinan dalam tatanan kehidupan sosial. Dia
meruntuhkan dinding rasa takut dan
menggiring rakyat ke arah fitrah ketuhanan."
"Revolusi Islam
di seluruh dunia selalu lekat dengan nama Khomeini. Sebab dialah yang memimpin
rakyat Iran melahirkan revolusi
besar dunia. Seperti layaknya para nabi, dia dengan kehadirannya, agama,
politik, revolusi, Tuhan dan rakyat diikat
dalam satu ikatan yang terpisahkan lalu mengenalkannya kepada insan pemikir.
Kebangkitannya mengingatkan semua
orang akan kebangkitan para nabi utusan Tuhan."
"Slogannya yang
terkenal, 'tidak timur, tidak barat' telah menjadi pondasi utama berdirinya
pemerintahan Islam dan itu terjadi tanpa dapat
dicegah oleh adi daya dunia."
Kalim Siddiqi, Ketua
Parlemen Muslim Inggris saat itu:
"Imam Khomeini
adalah contoh satu-satunya figur pejuang Islam dalam menghadapi hegemoni
politik, ekonomi dan budaya Barat."
Robin Wood;
"Dia (Imam
Khomeini) adalah messiah masa kini. Dia benar-benar pancaran keteguhan
Isa."
Oriana Fallaci,
Penulis dan Jurnalis Kenamaan Italia;
"Pengaruh besar
dari kewibawaan, kebesaran, kesabaran dan keagungan Ayatollah Khomeini sangat
terasa dalam pertemuan pertama
dengannya."
Abdur Razzaq Ahmad,
Deputi Menteru Tenaga Kerja Ethiopia;
"Revolusi Iran
pimpinan Imam Khomeini adalah titik awal bagi lahirnya identitas Islam dalam
bentuk negara-negara Islam. Sebab, Islam
tanpa pemerintahan yang tidak mampu menerapkan hukum syariat, tidak lebih baik
dari agama Kristen. Ini adalah
titik awal dan poin yang menonjol dari revolusi Imam Khomeini."
"Di pentas
internasional, peran Imam Khomeini tidak kecil. Beliau telah menyadarkan umat
Islam pada umumnya, khususnya warga
Afrika, juga memberi spirit kepada bangsa Palestina untuk berjuang demi kebebasan
melawan kaum zionis. Ini adalah
contoh dari pengaruh itu."
Profesor Hamid
Mavlana, dosen dan direktur pusat penelitian di Amerika Serikat;
"Imam Khomeini
adalah sosok figur yang dapat menyihir rakyat dengan kata-katanya. Beliau
berbicara dengan bahasa awam, dan memberikan
semangat dan rasa percaya diri kepada kaum lemah dan fakir. Imam Khomeini
meyakinkan mereka untuk
menyingkirkan siapa saja yang menghalangi gerak maju mereka. Bahkan tidak perlu
gentar menghadapi negara adi daya
seperti AS. Menurut saya, di abad 20 Masehi tidak ada suara yang lebih jelas
daru suara Imam Khomeini yang mampu
mengguncangkan dunia. Setelah perang dunia kedua, Imam adalah sosok pemimpin
pertama yang memecah
kebungkaman dalam menghadapi taghut dan tirani. Jika kebungkaman ini tidak
dipecah, saat ini Uni Soviet masih
eksis."
Michael Gorbachev,
Presiden Terakhir Uni Soviet:
"Dia (Imam
Khomeini) berpikir lebih maju dari zamannya, dan tidak terbatas pada tempat
tertentu. Dia berhasil meninggalkan warisan
yang besar untuk sejarah dunia."
Ahmad Huber, Penulis
dan Pemikir Swiss;
"Beliau datang
dari masa lalu dan hidup di masa kini, namun dia menampakkan masa depan. Hari
ini di Eropa terasa bahwa runtuhnya
tembok Berlin terjadi berkat revolusi Islam Iran. Pengaruh dari kebangkitan Islam
ini dapat dirasakan di Eropa."
Henry Kessinger,
mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan penasehat strategis AS 1970-an
yang beragama Yahudi:
"Ayatollah
Khomeini telah menghadapkan dunia Barat pada tantangan besar.
Keputusan-keputusannya bagaikan petir menyambar yang tak
memberikan kesempatan kepada para teoretis dan politikus untuk berpikir."
"Tak ada yang
dapat menduga keputusan apa yang bakal dia buat. Dia berbicara dan bertindak
tidak dengan model-model yang dikenal dunia
secara umum. Seakan ia menerima ilham dari tempat lain. Permusuhan Ayatollah
Khomeini dengan Barat bermuara
pada ajaran ilahi. Dalam bermusuhan dia sangat tulus."
Talal Atrisi, dosen
di salah satu perguruan tinggi Lebanon;
" Kepemimpinan
Imam Khomeini dan kemenangan revolusi Islam menjadi penggerak agi peradaban
dunia saat ini."
Massimo Finni,
jurnalis Italia;
"Hakikat dari
revolusi Islam dan pemikiran Ayatollah Khomeini sangat dalam. Barat tak mampu
memahaminya."
Mohammad Al-Ashi,
mantan Imam Masjid Washington;
"Imam Khomeini mengguncangkan
sendi-sendi Barat dan Timur. Dia meninggalkan pusaka yang hingga kini masih
hidup dan aktif."
[islammuhammadi/mt/taghrib]
Tuesday, 9 February 2010
Serial Pemikir Ali Syari’ati (4)
Sumber:
PELAJARAN
apa yang saya petik dari pengalaman menunaikan ibadah haji?
Pertama-tama sebaiknya kita bertanya tentang apa arti haji. Pada
hakikatnya, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah
haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan
Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan
sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji
adalah sebuah pertunjukan tentang ‘penciptaan’, ’sejarah’, ‘keesaan’,
‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Demikian ungkap cendekiawan muslim terkemuka Iran, DR Ali Syariati pada halaman pembukaan buku karyanya Hajj (The Pilgrimage) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Zahra menjadi Makna Haji.
Goresan
pena Syariati pada pembukaan buku yang telah saya kutip di atas
dilanjutkan dengan ilustrasi yang menarik. Kata Ali Syariati, “Allah
(Tuhan) adalah sutradaranya. Tema yang dibawakan adalah perbuatan
orang-orang yang terlibat, dan para tokoh utamanya meliputi Adam,
Ibrahim, Hajar, dan setan. Lokasi pertunjukannya adalah Masjid
al-Haram, daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina.
Simbol-simbol yang penting adalah Ka’bah, Shafa, Marwah, siang, malam,
matahari terbit, matahari terbenam, berhala dan upacara kurban. Pakaian
dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir
(mencukur sebagian rambut kepala). Yang terakhir dari peran-peran dalam
‘pertunjukan’ ini adalah hanya seseorang, yakni dirimu sendiri.
Ditandaskan
pula oleh Syariati bahwa tidak peduli apakah engkau seorang laki-laki
atau perempuan, muda atau tua, kulit hitam atau kulit putih, engkau
adalah aktor utama dalam pergelaran ini. Engkau berperan sebagai Adam,
Ibrahim dan Hajar dalam konfrontasi antara ‘Allah dengan setan’.
Konsekuensinya, engkau adalah pahlawan dari pertunjukan ini.
Haji
dalam pemahaman Syariati merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT
yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan
oleh sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju
kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan
fakta-fakta.
Dengan
melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah
untuk binasa, tetapi untuk berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah,
tetapi untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut
dipraktikkan dalam pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual,
atau dalam tuntunan non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau
larangan, nyata atau simbolik.
Semua
itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan
dan nilai kemanusiaan universal. Syariati mencontohkan, dalam konteks
niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram,
haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pakaian
ihram, menurutnya, melambangkan pola, preferensi, status, dan
perbedaan-perbedaan tertentu. “Tak dapat disangkal bahwa pakaian pada
kenyataannya dan juga menurut Al-Quran berfungsi sebagai pembeda antara
seseorang atau satu kelompok dengan lainnya,” tulis Syariati.
Menurutnya,
pembedaan tersebut dapat mengantar kepada perbedaan status sosial,
ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis
pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan
tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.
Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua
merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di
Miqat ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang
dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang
melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan
kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang
melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
Di
Miqat, dengan mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih,
sebagaimana yang akan membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri
perjalanan hidup di dunia ini, seorang yang melaksanakan ibadah haji
akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh pakaian ini. “Ia akan merasakan
kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa,” tandas Syariati
Selanjutnya,
Ka’bah yang dikunjungi di tengah-tengah Masjidil Haram, dalam pemahaman
Syariati mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Di sana terdapat Hijr Ismail yang arti harfiahnya pangkuan Ismail.
Ali
Syariati, melalui ketajaman analisanya, mengajak kita untuk menyelami
makna haji. Menggiring kita ke dalam lorong-lorong haji yang penuh
makna, bukan yang hampa tak bermakna. Diajaknya kita untuk memahami
haji sebagi langkah maju “pembebasan diri”, bebas dari penghambaan
kepada tuhan-tuhan palsu menuju penghambaan kepada Tuhan Yang Sejati.
Melalui
uraiannya yang khas dan membangkitkan semangat, kita diberitahu siapa
saja kepalsuan yang ternyata menjadi sahabat, kekasih dan pembela kita,
yang harus kita waspadai dan kita bongkar topeng-topeng kemunafikannya.
Penulis
buku ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa haji bukanlah sekadar
prosesi lahiriah formal belaka, melainkan sebuah momen revolusi lahir
dan batin untuk mencapai kesejatian diri sebagi manusia. Dengan kata
lain, orang yang sudah berhaji haruslah menjadi manusia yang “tampil
beda” (lebih lurus hidupnya) dibanding sebelumnya. Dan ini adalah
kemestian. Kalau tidak, sesungguhnya kita hanyalah wisatawan yang
berlibur ke tanah suci di musim haji, tidak lebih!
Tidak
kalah dahsyat pula, pandangan Ali Syariati mengenai pilar-pilar doktrin
Islam dalam pengantar buku Hajj ini. Ia mengatakan, “Sejauh yang saya
ketahui, dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin
Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar,
bebas, terhormat, dan bertanggungjawab secara sosial adalah: tauhid,
jihad, dan haji.”
Sebuah buku menarik dan merangsang pikiran yang layak anda baca!
00*****00
Tentang Riwayat Hidup Ali Syariati dan Karya-karyanya (Klik Sini).
Dwiki Setiyawan, Kompasianer pengagum Ali Syariati.
Serial Pemikir Ali Syari’ati (3)
Sumber: dunia pelajar islam
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
DAFTAR PUSTAKA
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
Ali
Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota
Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi
gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari
keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama
yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota
tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari
kepercayaan Islam Syi’ah.
Kehidupan
Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam
otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia
begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di
masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru
pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang
memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya
seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari
ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan
besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan
sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa
kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang
besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku
tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great
Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai
filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi
sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela
ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga
aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan
tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas
social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi
Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika
berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan
sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Dia
melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari
sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual
Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para
nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi
social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum
Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran,
istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London.
Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona,
anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan
dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di
Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah
yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Islam
yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak
penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan,
karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat
sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati
berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya.
Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata
"politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit
administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah
"siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda
liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk
memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam,
dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek
spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan
Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah
sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
"
Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam.
Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam
keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa,
aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan
kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum
mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab
pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh)
keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan
untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah,
dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
"
Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam.
Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar
atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam,
walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya
adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya
adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih
lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus
mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas.
Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari
sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman
berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .
Ali
Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya,
bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau
hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan
ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan
masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi
orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan
terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati
mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam
sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani,
penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati
bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .
Islam
pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya
di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk
memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah
Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang
dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam
Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi
ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner
ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa
politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi
penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis,
telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier)
bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati.
Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas
sosial.
Menurut
pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi,
Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang
menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas
seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan
lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam
Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah,
seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum
yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga
keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai
manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi
menjadi penjara.
Rezim
Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan
yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam.
Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi,
para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah
mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara
di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan
kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata
Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam
relung-relung sejarah".
Bagi
Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah
jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan
waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan
ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya
sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli
bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang
diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa
zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk
menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang
yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Seperti
yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah
pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu
praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff,
ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat
luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor
penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan
orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang
berbasis keagamaan.
Teologi
Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan
menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk
akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar
terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin
masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran
tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ;
1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan
kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas,
2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami
sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan
kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu
pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang
pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi
tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani
Platonis.
Sejalan
dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh
kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner
atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama.
Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan
juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing
mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk
memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik
dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana
yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah
untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan
eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat
lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian
anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai
masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan
ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat
dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar
dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat
begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan,
bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada
kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm
(penindasan).
Sayangnya,
sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat
revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo.
Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong
kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang
kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas
masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan
arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian
Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas
(mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn
(orang yang kuat dan sombong).
Seperti
yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber
utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di
tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya
melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah
merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi
konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi
menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme,
pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak
lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan
organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.
Karena
ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm
(bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang
kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap
orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan
dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar
pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Kritik terhadap Syari’ati
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah
Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati
lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal,
secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk
melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya
sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah
Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan
Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok
dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah
menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang
ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni
sebagai pemimpin besar.
DAFTAR PUSTAKA
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)
Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)
Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad
Nafis, "Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami
"Kemelut" Tokoh Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan
Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia
(Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)
Robert
D. Lee, "Ali Shari’ati", dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar
Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung:
Mizan, 2000)
Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Serial Pemikir Ali Syari'ati (2)
Ali Shariati (bahasa Persia: علی شريعتی) Dr Ali Shariati (1933–1977) adalah seorang sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya dalam bidang sosiologi agama.
Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan adn memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.
Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.
Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
Daftar isi[sembunyikan] |
[sunting] Biografi
Shariati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah suburban dari Sabzevar, Iran. Ayahnya seorang pembicara nasionalis progresif yang kelak ikut serta dalam gerakan-gerakan politik anaknya.Ketika belajar di Sekolah Pendidikan Keguruan, Shariati berkenalan dengan orang-orang muda yang berasal dari golongan ekonomi yang lebih lemah, dan untuk pertama kalinya ia melihat kemiskinan dan kehidupan yang berat yang ada di Iran pada masa itu. Pada saat yang sama ia pun berkenalan dengan banyak aspek dari pemikiran filsafat dan politik Barat, seperti yang tampak dari tulisan-tulisannya. Ia berusaha menjelaskan adn memberikan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat-masyarakat Muslim melalui prinsip-prinsip Islam yang tradisional, yang terjalin dan dipahami dari sudut pandang sosiologi dan filsafat modern. Shariati juga sangat dipengaruhi oleh Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal.
Ia mendapatkan gelar kesarjanaannya dari Universitas Mashhad, kemudian ia melanjutkan studi pasca-sarjananya di Universitas Paris. Di sana ia memperoleh gelar doktor dalam filsafat dan sosiologi pada 1964. Lalu ia kembali ke Iran dan langsung ditangkap dan dipenjarakan oleh penguasa Kekaisaran Iran yang menuduhnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif politik ketika masih di Prancis. Ia akhirnya dilepaskan pada 1965, lalu mulai mengajar di Universitas Mashhad. Kuliah-kuliahnya jadi populer di antara mahasiswa dari semua kelas sosial, dan hal ini kembali mengundang tindakan oleh penguasa Kekaisaran yang memaksa Universitas untuk melarangnya mengajar.
Shariati lalu pergi ke Tehran dan mulai mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Kuliah-kuliahnya kembali sangat populer di antara mahasiswa-mahasiswanya dan akibatnya berita menyebar dari mulut ke mulut hingga ke semua sektor ekonomi masyarakat, termasuk kelas menengah dan atas yang mulai tertarik akan ajaran-ajaran Shariati.
Pihak Kekaisaran kembali menaruh perhatian khusus terhadap keberhasilan Shariati yang berlanjut, dan polisi segera menahannya bersama banyak mahasiswanya. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.
Shariati menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya dan pergi ke Inggris. Tiga minggu kemudian, pada 19 Juni 1977, ia dibunuh. Muncul spekulasi bahwa ia dibunuh entah oleh agen-agen SAVAK atau oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang terlalu fanatik, yang terkenal sebagai penentang keras sikap Shariati yang revolusioner, yang anti-klerus dan mendukung nilai-nilai egalitarian
Shariati dianggap sebagai salah satu pemimpin filosofis paling berpengaruh dari Iran di masa pra-revolusi. Pengaruh dan popularitas pemikirannya terus dirasakan di seluruh masyarakat Iran bertahun-tahun kemudian, khususnya di antara mereka yang menentang rezim Republik Islam
[sunting] Buku-buku dan ceraman-ceramah Shariati yang terpenting
- The Pilgrimage (Hajj) (Haji)
- Where Shall We Begin? (Di Mana Kita Harus Mulai?)
- Mission of a Free Thinker (Misi Seorang Pemikir Bebas)
- The Free Man and Freedom of the Man (Manusia Bebas dan Kebebasan Manusia)
- Extracton and Refrinement of Cultural Resources (Penggalian dan Peningkatan Sumber-sumber Budaya)
- Martyrdom (Mati Syahid) (buku)
- Arise and Bear Witness (Bangkit dan Bersaksilah)
- An approach to Understanding Islam (Suatu Pendekatan untuk Memahami Islam)
- A Visage of Prophet Muhammad (Gambaran tentang Nabi Muhammad)
- A Glance of Tomorrow's History (Sekilas tentang Sejarah Masa Depan)
- Reflections of Humanity (Refleksi tentang Umat Manusia)
- A Manifestation of Self-Reconstruction and Reformation (Manifestasi tentang Rekonstruksi dan Pembaruan Diri)
- Selection and/or Election (Seleksi dan/atau Pemilihan)
- Norouz, Declaration of Iranian's Livelihood, Eternity (Norouz, Deklarasi tentang Kehidupan Iran, Kekekalan)
- Expectations from the Muslim Woman (Tuntutan-tuntutan terhadap Perempuan Muslim)
- Horr (Pertempuran Karbala)
- Abu-Dahr
- Islamology (Islamologi)
- Red Shi'ism vs. Black Shi'ism (Syiah Merah vs. Syiah Hitam)
- Jihad and Shahadat (Jihad dan Syahadat)
- Reflections of a Concerned Muslim on the Plight of Oppressed People (Refleksi Seorang Muslim yang Prihatin terhadap Penderitaan Rakyat Tertindas)
- A Message to the Enlightened Thinkers (Pesan kepada Para Pemikir yang Tercerahkan)
- Art Awaiting the Saviour (Seni Sedang Menantikan Juruselamat)
- Fatemeh is Fatemeh (Fatemeh adalah Fatemeh)
- The Philosophy of Supplication (Filsafat Syafaat)
[sunting] Karya
- An Islamic Utopian: A Political Biography of Ali Shari'Ati. Ali Rahnema ISBN 1-86064-118-0
[sunting] Lihat pula
[sunting] Pranala luar
- Dr Ali Shariati
- Dr Ali Shariati PDF Books
- Hisotry of Iran & Persian
- A Critical Evaluation of the Thought of Ali Shariati
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Syari%27ati"
Subscribe to:
Posts (Atom)
ORIFLAME UNIVERSITY
WEB BERITA, KATAKAN!
profil muthofar hadi
Curikulum Vitepdf
Unduh Partai Republik Republik Islam Indonesia
Partai Republik Islam Indonesia
Award Backlink
AWARD LEBARAN
DAFTAR ISI
2ARTIKEL SAYA UNTUK KOMPETISI iB
(BANK SYARIAH) KOMPAS SEPT - OKT 2009
1. BANK SYARIAH
2. PENGALAMAN SAYA MEMILIKI TABUNGAN SYARIAH
HALAMAN UNTUK LINK SAHABAT
3. iB Kepanjangan dari Bank Islam
4. BANK DIBAGI DUA
5. Memilih Bank Indonesia, bank Syariah atau bank Dunia
Blog Archive
ALAMAT IP KAMU
The 6 Links
streetdirectory.co.id
SILAHKAN LIHAT SENDIRI
Muthofar Hadi Sponsor Umroh/Haji
PT Armina Reka Perdana adalah salah satu agen perjalanan Haji/Umrah di Indonesia yang sudah berdiri sejak 1990. Ikuti jamaahnya dan dapatkan kuotanya, Bergabung Klik di sini.